Membedah Utang Luar Negeri Indonesia
Membedah Utang Luar Negeri Indonesia
tirto.id - Saat Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia sekitar 2,5 tahun silam, ia sudah mendapat warisan total utang Rp2.700 triliun. Kini, posisi total utang pemerintah pusat per Juni 2017 bertambah pesat menjadi sekitar Rp3.700 triliun. Ini artinya, ada kenaikan utang pemerintah hingga Rp1.000 triliun di era pemerintahan Jokowi.
Namun, bagi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman) Luhut Binsar Panjaitan, total utang pemerintah itu dinilainya belum seberapa jika dilihat dari rasionya dari PDB. Persentase rasio utang terhadap PDB Indonesia disebutnya masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
"Kita punya utang masih tergolong sangat kecil dibandingkan negara lain. Masih di bawah 30 persen, tepatnya 27,9 persen dari PDB kita,"kata Luhut.
Bagaimana sebenarnya utang pemerintah terutama dari pinjaman luar ngeri?
Berdasarkan Statistik Utang Luar Nege ri (SULNI) saja, utang luar negeri Indonesia dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok peminjam, yaitu pemerintah, bank sentral, dan swasta. Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesarr $317,08 miliar tumbuh sebesar 2,04 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat berjumlah $310,73 miliar.
Bila dilihat lebih rinci, sejak 2012, proporsi utang swasta lebih tinggi dibandingkan pemerintah dan bank sentral. Pada 2004, utang luar negeri swasta tercatat berjumlah $57,98 miliar atas 41,04 persen dari total utang luar negeri. Nilainya meningkat mencapai $158,8 miliar pada 2016 atau setara dengan 50,08 persen terhadap total utang.
Pada periode 2004 hingga 2016, pertumbuhan utang swasta tertinggi terjadi di 2011, sebesar 27,38 persen dibandingkan tahun sebelumnya dimana nilai utang luar negeri bertambah dari $83,79 miliar di 2010 menjadi $106,73 miliar di 2011. Tingginya pertumbuhan utang luar negeri swasta ini disebabkan oleh salah satunya disebabkan oleh berlakunya sanksi denda kepada perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban utang luar negeri yang berlaku efektif pada Juli 2011. Sedangkan, pada 2016, utang luar negeri swasta mengalami pertumbuhan negatif 5,54 persen dari tahun sebelumnya.
Proporsi utang luar negeri pemerintah terhadap total utang sejak 2012 hingga saat ini memperlihatkan tren yang menurun dibandingkan swasta. Begitu pula dengan utang luar negeri Bank Sentral yang juga memperlihatkan tren proporsi yang menurun. Pada 2012, proporsi utang Pemerintah dan Bank Sentral masing-masing sebesar 46,04 persen dan 3,94 persen t erhadap total utang luar negeri. Proporsinya menurun menjadi 48,84 persen untuk Pemerintah dan 1,07 persen untuk Bank Sentral pada 2016.
Meskipun proporsinya menurun, tapi utang luar negeri pemerintah tumbuh positif. Pada periode 2004 hingga 2016, utang luar negeri pemerintah tumbuh paling tinggi pada 2010, sebesar 17,62 persen dari $90,85 miliar di 2009 menjadi $106,86 miliar di 2010. Pada periode 2014 hingga 2016, per tahunnya, rata-rata pertumbuhan utang luar negeri pemerintah sebesar 10,67 persen. Pada 2014, nilai utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar $123,81 miliar dan meningkat menjadi $154,88 miliar pada 2016.
Di sisi lain, nilai utang luar negeri Bank Sentral menunjukkan tren yang menurun. Pada 2004, nilai utang luar negeri Bank Sentral sebesar $12,64 miliar d an menurun menjadi $3,41 miliar pada 2016. Dengan kata lain, utang luar negeri Bank Sentral mengalami pertumbuhan negatif (CAGR) 10,35 persen pada periode yang sama. Berdasarkan sektor ekonomi, sejak 2004 hingga 2016, proporsi terbesar utang luar negeri Indonesia berada pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Pada 2016, utang luar negeri Indonesia yang terkonsentrasi pada sektor ini mencapai $165,74 miliar. Sedangkan, sektor dengan proporsi utang luar negeri terendah pada 2016 adalah pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan nilai $7,7 miliar.
Dilihat dari kelompok peminjamnya, pada 2016, utang luar negeri pemerintah maupun swasta terkonsentrasi terbesar pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Nilainya mencapai $116,68 miliar untuk pemeri ntah dan $45,7 miliar untuk swasta. Sektor lainnya yang menjadi konsentrasi utang luar negeri pemerintah adalah jasa dengan nilai $17,07 miliar pada 2016.
Sedangkan, bagi swasta, utang luar negerinya terkonsentrasi pada industri pengolahan dengan nilai $33,49 miliar. Melihat tren yang meningkat dari utang luar negeri pemerintah, banyak kalangan yang mulai mengkhawatirkan kemampuan pemerintah untuk membayar utangnya. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengatasi beban keuangan negara adalah Debt to GDP Ratio. Debt to GDP Ratio merupakan rasio utang luar negeri pemerintah terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rasio ini menggambarkan kesehatan penggunaan utang luar negeri oleh pemerintah.
Semakin tinggi rasionya, maka pinjaman pemerintah terlalu banyak sehingga pendapatannya tidak mampu untuk menutupi pinjaman tersebut. Untuk batas rasionya, berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Ne gara, penjelasan pasal 12 ayat 3 menerangkan bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto. Inilah yang menjadi acuan Pemerintah Indonesia untuk menyatakan aman atau tidaknya proporsi utang luar negerinya.
Tentunya, tingkat keamanan ini tidak sama dengan negara lain karena dalam perumusannya mempertimbangkan berbagai aspek, seperti rasio pajak serta kewajiban dan bunga utang. Contohnya, Jepang yang memiliki rasio utang pemerintah mencapai lebih dari 200 persen pun masih tetap dianggap aman. Sejak 2004 hingga 2016, rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB ini memperlihatkan tren yang menurun. Pada 2004, rasionya berada di angka 54,9 persen dan menurun menjadi 33,99 persen pada 2016. Hal ini menjadi indikasi awal bahwa anggaran pemerintah lebih sehat karena kemampuan membayar utangnya meningkat.
Namun, bila dilihat lebih rinci, sejak 2014, rasio ini memperlihatkan tren yang meningkat. Pada 2014, rasio utang luar negeri Pemerintah terhadap PDB meningkat menjadi 32,95 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 29,13 persen. Pada 2015, rasio ini pun masih menunjukkan peningkatan menjadi 36,09 persen. Pada dasarnya, utang luar negeri bermanfaat jika dimanfaatkan dalam kegiatan produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, pengelolaan utang harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Selain mengikuti batasan yang telah ditetapkan, pengelolaan utang pun harus melihat lebih dalam kemampuan dalam negeri untuk membayar pokok dan bunganya. Di sisi lain, rasio penerimaan pajak terhadap PDB saja pada dua tahun terakhir menurun dan masih berada dalam kondisi memprihatinkan, yaitu 10,76 persen untuk 2015 dan 10,36 persen pada 2016.
Pa dahal, rasio pajak ini merupakan indikator penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah utang luar negeri pemerintah masih aman atau tidak. Pajak merupakan salah satu yang utama sumber pemasukan yang akan digunakan untuk membayar utang pemerintah.
Baca juga artikel terkait UTANG atau tulisan menarik lainnya Dinda Purnamasari
(tirto.id - din/dra)
tirto.id - Saat Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia sekitar 2,5 tahun silam, ia sudah mendapat warisan total utang Rp2.700 triliun. Kini, posisi total utang pemerintah pusat per Juni 2017 bertambah pesat menjadi sekitar Rp3.700 triliun. Ini artinya, ada kenaikan utang pemerintah hingga Rp1.000 triliun di era pemerintahan Jokowi.
Namun, bagi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman) Luhut Binsar Panjaitan, total utang pemerintah itu dinilainya belum seberapa jika dilihat dari rasionya dari PDB. Persentase rasio utang terhadap PDB Indonesia disebutnya masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
"Kita punya utang masih tergolong sangat kecil dibandingkan negara lain. Masih di bawah 30 persen, tepatnya 27,9 persen dari PDB kita,"kata Luhut.
Bagaimana sebenarnya utang pemerintah terutama dari pinjaman luar ngeri?
Berdasarkan Statistik Utang Luar Nege ri (SULNI) saja, utang luar negeri Indonesia dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok peminjam, yaitu pemerintah, bank sentral, dan swasta. Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesarr $317,08 miliar tumbuh sebesar 2,04 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat berjumlah $310,73 miliar.
Bila dilihat lebih rinci, sejak 2012, proporsi utang swasta lebih tinggi dibandingkan pemerintah dan bank sentral. Pada 2004, utang luar negeri swasta tercatat berjumlah $57,98 miliar atas 41,04 persen dari total utang luar negeri. Nilainya meningkat mencapai $158,8 miliar pada 2016 atau setara dengan 50,08 persen terhadap total utang.
Pada periode 2004 hingga 2016, pertumbuhan utang swasta tertinggi terjadi di 2011, sebesar 27,38 persen dibandingkan tahun sebelumnya dimana nilai utang luar negeri bertambah dari $83,79 miliar di 2010 menjadi $106,73 miliar di 2011. Tingginya pertumbuhan utang luar negeri swasta ini disebabkan oleh salah satunya disebabkan oleh berlakunya sanksi denda kepada perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban utang luar negeri yang berlaku efektif pada Juli 2011. Sedangkan, pada 2016, utang luar negeri swasta mengalami pertumbuhan negatif 5,54 persen dari tahun sebelumnya.
Proporsi utang luar negeri pemerintah terhadap total utang sejak 2012 hingga saat ini memperlihatkan tren yang menurun dibandingkan swasta. Begitu pula dengan utang luar negeri Bank Sentral yang juga memperlihatkan tren proporsi yang menurun. Pada 2012, proporsi utang Pemerintah dan Bank Sentral masing-masing sebesar 46,04 persen dan 3,94 persen t erhadap total utang luar negeri. Proporsinya menurun menjadi 48,84 persen untuk Pemerintah dan 1,07 persen untuk Bank Sentral pada 2016.
Meskipun proporsinya menurun, tapi utang luar negeri pemerintah tumbuh positif. Pada periode 2004 hingga 2016, utang luar negeri pemerintah tumbuh paling tinggi pada 2010, sebesar 17,62 persen dari $90,85 miliar di 2009 menjadi $106,86 miliar di 2010. Pada periode 2014 hingga 2016, per tahunnya, rata-rata pertumbuhan utang luar negeri pemerintah sebesar 10,67 persen. Pada 2014, nilai utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar $123,81 miliar dan meningkat menjadi $154,88 miliar pada 2016.
Di sisi lain, nilai utang luar negeri Bank Sentral menunjukkan tren yang menurun. Pada 2004, nilai utang luar negeri Bank Sentral sebesar $12,64 miliar d an menurun menjadi $3,41 miliar pada 2016. Dengan kata lain, utang luar negeri Bank Sentral mengalami pertumbuhan negatif (CAGR) 10,35 persen pada periode yang sama. Berdasarkan sektor ekonomi, sejak 2004 hingga 2016, proporsi terbesar utang luar negeri Indonesia berada pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Pada 2016, utang luar negeri Indonesia yang terkonsentrasi pada sektor ini mencapai $165,74 miliar. Sedangkan, sektor dengan proporsi utang luar negeri terendah pada 2016 adalah pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan nilai $7,7 miliar.
Dilihat dari kelompok peminjamnya, pada 2016, utang luar negeri pemerintah maupun swasta terkonsentrasi terbesar pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Nilainya mencapai $116,68 miliar untuk pemeri ntah dan $45,7 miliar untuk swasta. Sektor lainnya yang menjadi konsentrasi utang luar negeri pemerintah adalah jasa dengan nilai $17,07 miliar pada 2016.
Sedangkan, bagi swasta, utang luar negerinya terkonsentrasi pada industri pengolahan dengan nilai $33,49 miliar. Melihat tren yang meningkat dari utang luar negeri pemerintah, banyak kalangan yang mulai mengkhawatirkan kemampuan pemerintah untuk membayar utangnya. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengatasi beban keuangan negara adalah Debt to GDP Ratio. Debt to GDP Ratio merupakan rasio utang luar negeri pemerintah terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rasio ini menggambarkan kesehatan penggunaan utang luar negeri oleh pemerintah.
Semakin tinggi rasionya, maka pinjaman pemerintah terlalu banyak sehingga pendapatannya tidak mampu untuk menutupi pinjaman tersebut. Untuk batas rasionya, berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Ne gara, penjelasan pasal 12 ayat 3 menerangkan bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto. Inilah yang menjadi acuan Pemerintah Indonesia untuk menyatakan aman atau tidaknya proporsi utang luar negerinya.
Tentunya, tingkat keamanan ini tidak sama dengan negara lain karena dalam perumusannya mempertimbangkan berbagai aspek, seperti rasio pajak serta kewajiban dan bunga utang. Contohnya, Jepang yang memiliki rasio utang pemerintah mencapai lebih dari 200 persen pun masih tetap dianggap aman. Sejak 2004 hingga 2016, rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB ini memperlihatkan tren yang menurun. Pada 2004, rasionya berada di angka 54,9 persen dan menurun menjadi 33,99 persen pada 2016. Hal ini menjadi indikasi awal bahwa anggaran pemerintah lebih sehat karena kemampuan membayar utangnya meningkat.
- Baca juga: Pelajaran dari Segunung Utang Jepang
Namun, bila dilihat lebih rinci, sejak 2014, rasio ini memperlihatkan tren yang meningkat. Pada 2014, rasio utang luar negeri Pemerintah terhadap PDB meningkat menjadi 32,95 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 29,13 persen. Pada 2015, rasio ini pun masih menunjukkan peningkatan menjadi 36,09 persen. Pada dasarnya, utang luar negeri bermanfaat jika dimanfaatkan dalam kegiatan produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, pengelolaan utang harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Selain mengikuti batasan yang telah ditetapkan, pengelolaan utang pun harus melihat lebih dalam kemampuan dalam negeri untuk membayar pokok dan bunganya. Di sisi lain, rasio penerimaan pajak terhadap PDB saja pada dua tahun terakhir menurun dan masih berada dalam kondisi memprihatinkan, yaitu 10,76 persen untuk 2015 dan 10,36 persen pada 2016.
Pa dahal, rasio pajak ini merupakan indikator penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah utang luar negeri pemerintah masih aman atau tidak. Pajak merupakan salah satu yang utama sumber pemasukan yang akan digunakan untuk membayar utang pemerintah.
Baca juga artikel terkait UTANG atau tulisan menarik lainnya Dinda Purnamasari
(tirto.id - din/dra)
Keyword
utang surat utang negara apbn pajak ekonomi periksa data mild reportREKOMENDASI
-
Benarkah Pemindahan Ibu Kota demi Pemerataan Pembangunan?
-
Menantu Beralasan Gugat Mertua Rp1,8 M Demi Tegakkan Hukum
-
RNI Jual Surat Utang untuk Kembangkan Bisnis
-
Cadangan Devisa Indonesia Naik Jadi $116,4 Miliar
KONTEN MENARIK LAINNYA
-
Bisakah Data Pribadi Kita Aman?
- < h3>Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia
BACA JUGA
-
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Membutuhkan 5 Langkah
-
Kasus Beras Maknyuss Membikin Pedagang Khawatir
Post a Comment