SBY-Prabowo Bertemu, Pengamat Nilai Koalisi Kemungkinan Tak Terjadi - KOMPAS.com
ANTARA FOTO / STR / INDRIANTO EKO SUWARSO Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) melakukan salam komando dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seusai mengadakan pertemuan tertutup di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2017). Per temuan di antaranya menyikapi disahkannya UU Pemilu pada Sidang Paripurna DPR pekan lalu, di mana empat fraksi yakni Fraksi Partai Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS menolak penggunaan Presidential Treshold dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Cikeas, Kamis (27/7/2017) malam, mengundang sorotan dan spekulasi publik.
Salah satunya adalah kemungkinan koalisi antara Demokrat dan Gerindra dalam Pemilu Presiden 2019.
Namun, Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio tak melihat ada sinyal kuat ke arah sana.
Di samping perbedaan warna politik kedua partai, keduanya tak memberikan sinyal akan berkoalisi.
Sinyal yang paling jelas d an tegas, kata dia, ditunjukan oleh SBY.
"Saya tidak yakin koalisi itu akan terjadi karena pembahasannya kemarin, SBY loud and clear," kata Hendri saat dihubungi, Jumat (28/7/2017).
(baca: Prabowo: "Presidential Threshold" Lelucon Politik yang Menipu Rakyat)
Pertama, ia melihat bahwa pertemuan SBY-Prabowo hanyalah seperti koordinasi tandingan setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo mengumpulkan partai-partai pendukung pemerintah ke Istana Kepresidenan.
Saat itu, Jokowi meminta dukungan soal Perppu Pajak dan Perppu Ormas yang tengah dibahas DPR.
Pertemuan SBY-Prabowo, menurut Hendri, hanya mengisyaratkan keprihatinan tentang Undang-Undang Pemilu.
Pasalnya, keduanya sama-sama menolak adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
(baca: SBY: Demokrat dan Gerindra Sepakat Kawal Pemerintahan Tanpa Koalisi)
Dalam UU Pemilu yang disahkan, partai atau gabungan partai baru bisa m engajukan calon presiden-calon wakil presiden jika memperoleh 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional. Acuannya pemilu 2014.
"Jadi diartikannya ya memang dua tokoh ini melihat RUU Pemilu masalah presidential threshold itu menjadi penting," ujarnya.
Di samping itu, ada faktor sejarah yang membuat koalisi kedua partai tersebut belum tentu bisa berada salam satu koalisi pada pilpres.
(baca: SBY dan Prabowo Sepakat Mengawasi Penguasa agar Tak Melampaui Batas)
Belum pernah terjadi sebelumnya Gerindra berada di sisi Demokrat, bahkan saat SBY menjabat Presiden RI.
"Waktu itu posisinya SBY berkuasa lho, sekarang Demokrat tidak berkuasa," ucap Hendri.
Dalam pertemuan semalam, SBY juga menegaskan bahwa Demokrat dan Gerindra menyepakati kerja sama tanpa harus berkoalisi.
Hal itu, kata Hendri, juga dapat diartikan bahwa belum ada niat berkoalisi antara Demokrat dan Gerindra.
"Jadi, bahasa ke rja sama tanpa koalisi itu penting. Artinya belum tentu juga mereka satu koalisi dan kelihatannya hingga saat ini di antara mereka berdua belum sedikitpun terpikir akan membuat koalisi," kata Hendri.
"Kalau ada kepentingan yang sama mereka kerja sama. Kalau enggak ya sendiri-sendiri," tuturnya.
Ia menilai, tak ada perbedaan penting antara pesan-pesan yang disampaikan SBY sebelum pilkada DKI dan semalam. Intinya, dia tetap mengkritisi pemerintah saat ini.
"Dia bilang power must not going uncheck, jadi memang dia menginginkan bahwa ada check and balance terus-terusan," ujarnya.
Kompas TV Namun, benarkah hasil ini akan menguntungkan seluruh warga Indonesia yang justru paling berkepentingan dengan hasil pemilu? Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:- UU Pemilu Disahkan
- Jelang Pemilu 2019
Post a Comment