Siapa yang Akan Menikmati Rumah DP Nol Persen di Jakarta?
Siapa yang Akan Menikmati Rumah DP Nol Persen di Jakarta?
tirto.id - Suatu hari sebelum Pemilihan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan datang menemui Sandiaga Uno. âBro, tolong deh lo itungin, kalau misalnya kita bisa bantu melalui satu program pemerintah, untuk membantu pengadaan DP ini untuk masyarakat Jakarta,â kata Anies. Anies sedang bicara soal kredit kepemilikan rumah di Jakarta dan kemungkinan pemerintah untuk membuat program rumah tanpa uang muka.
âSerius lo?â Sandi bertanya balik. âIya, tolong hitungin.â
Sandi menilai hal itu mungkin saja terjadi. Maka jadilah program rumah tanpa uang muka (down payment/DP) sebagai salah satu janji Anies dan Sandi saat kampanye.
Sandiaga menceritakan percakapan itu ketika tim Tirto mewawancarainya secara khusus setelah Pilkada putaran pertama. Dalam wawancara itu, Sandi memaparkan beberapa rencana teknis dari program tersebut.
Sandi menjelaskan, akan ada skema khusus. Orang-orang yang masuk kualifikasi untuk program itu harus menabung dulu selama 6 sampai 12 bulan untuk melihat kemampuannya membayar cicilan. âBegitu sudah melihat polanya, maka secara prudent, bank akan bilang oke dia layak,â kata Sandi.
Menurut Sandi, tabungan itu bukan untuk menyicil uang muka, melainkan hanya untuk melihat polanya. Uang muka sesungguhnya akan dibayarkan pemerintah. Tetapi dana itu juga bukan hibah, melainkan pinjaman.
Pemerintahan provinsi, kata Sandi, akan menggandeng para pengembang untuk menyediakan rumah yang terjangkau. Jadi, bukan pemerintah yang membangun rumah. Fasilitas KPR juga akan diberikan oleh perbankan, Pemprov hanya menalangi uang mukanya saja.
Saat itu, belum ada kriteria atau syarat-syarat pasti bagi masyarakat yang ingin mengikuti program itu. Belum ada kepastian untuk siapa atau warg a kelas apa program itu diselenggarakan.
Baru-baru ini, Sandi mengatakan kepada awak media bahwa program rumah tanpa uang muka hanya bisa diikuti oleh warga berpenghasilan Rp7-10 juta per bulan. Artinya, mereka yang berpenghasilan lebih kecil dari Rp7 juta atau lebih besar dari Rp10 juta tak boleh ikut.
Mereka yang penghasilan per bulannya Rp7-10 juta tentu bukanlah kelas pekerja yang gajinya sebatas upah minimum regional (UMR). Bahkan karyawan perbankan yang fresh graduate juga masih banyak yang digaji di bawah Rp7 juta. Menurut laman Qerja.com , gaji rata-rata teller bank tak lebih dari Rp4 juta, bahkan ada yang di bawah Rp3 juta.
Jika dilihat-lihat daftar kisaran rata-rata gaji di laman tersebut, yang bisa menikmati program perumahan DP nol persen antara lain software engineer, asisten manager, engineer, supervisor di Astra Daihatsu, supervisor di Bank BCA, dan beberapa pekerjaan lain di level menengah. Sem entara mereka yang ada di level bawah tak bisa mengikuti program rumah DP 0 persen.
Dengan memberikan batasan penghasilan Rp7-10 juta, jelas sekali bahwa sasaran program rumah tanpa DP adalah kelas menengah ke atas Jakarta. Tak ada pakem tentang kriteria penghasilan dan pengeluaran bagi kelas menengah. Namun, klasifikasi yang dikeluarkan Boston Consultant Group (BCG) biasanya cukup sering dipakai.
BCG mengklasifikasikan orang dengan pengeluaran bulanan Rp5-7,5 juta sebagai kelompok masyarakat makmur atau kaya. Sedangkan yang di atas Rp7,5 juta per bulan masuk ke dalam kelompok elit. Jadi, kalau mengacu pada standar yang dipakai BCG, maka program rumah tanpa uang muka hanya menyasar lapisan masyarakat kelas menengah ke atas, kaya dan elit.
M enurut BCG pula, jumlah penduduk menengah ke atas (middle class affluent) di Jabodetabek pada tahun 2012 sekitar 18 juta dari total jumlah penduduk sekitar 31 juta jiwa. Artinya ada sekitar 58 persen penduduk kelas menengah atas di Jabodetabek. Tahun 2020 nanti, penduduk kelas menengah atas di Jabodetabek diprediksi menyentuh angka 30 juta. Tetapi itu Jabodetabek, tak ada data khusus untuk Jakarta.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2014, jumlah penduduk Jakarta sekitar 10 juta. Jika menggunakan persentase yang sama untuk Jabodetabek, bisa diasumsikan ada sekitar 5,8 juta penduduk Jakarta yang tergolong kelas menengah ke atas. Angka ini mendekati data distribusi pendapatan penduduk di Jakarta yang didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia. Data dari Pemerintahan Provinsi Jakarta itu menyebutkan, tahun 2013, ada 50,9 persen penduduk Jakarta yang masuk kategori kelompok pendapatan tinggi atau sekitar 5 juta-an jiwa. Nah, yang bisa menikmati program rumah tanpa DP adalah mer eka di antara 5 juta orang ini yang belum memiliki rumah pertama.
Lebih lanjut, Sandi menjelaskan bahwa angka Rp7-10 juta itu adalah pendapatan per rumah tangga, atau pendapatan gabungan suami dan istri bukan per orang. Kalau ada suami yang pendapatannya Rp4 juta dan istrinya Rp3 juta per bulan, mereka berhak mengikuti program tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana dengan para lajang yang memutuskan tidak menikah, atau suami yang istrinya tidak bekerja, atau istri yang suaminya tidak bekerja? Mereka tentu saja membutuhkan gaji bulanan minimal Rp7 juta jika ingin mengikuti program kepemilikan rumah DP nol persen di Jakarta.
Guster Sihombing misalnya, karyawan swasta yang berdomisili di Jakarta itu berniat ikut program kepemilikan rumah tanpa DP. Saat ini ia tinggal di kontrakan di Jakarta Pusat. Guster tak masalah tinggal di rumah vertikal asalkan tak jauh dari tempatnya bekerja. Ia salah satu warga Jakarta yang memilih untuk tidak menikah. Jadi, Guster hanya bisa menga ndalkan penghasilannya sendiri ketika ingin membeli rumah. Sayangnya, kisaran penghasilan Guster sekitar Rp5-6 juta. Dengan batasan pendapatan yang disebutkan Sandiaga, tentu saja ia tak masuk dalam kriteria.
"Kayaknya Rp7-10 juta itu ketinggian deh. Waktu kampanye dulu, aku mikirnya program itu buat yang penghasilannya sebatas UMR atau enggak jauh di atas UMR," katanya kepada Tirto, Jumat (14/7).
UMR Jakarta tahun 2016 sebesar Rp3,1 juta. Jadi, kalau ada suami istri di Jakarta yang keduanya bekerja dan gajinya mentok UMR, ingin membeli rumah dan tak punya uang muka, jangan harap bisa ikut program gubernur anyar ini.
Sementara itu, Sisi Wahyuni, warga Jakarta yang penghasilannya masuk dalam kriteria menyatakan tak berminat mengikuti program rumah tanpa DP. "Sebagai warga yang melek politik, dari awal gue udah enggak minat sama program ini. Kalau DP nol persen, cicilannya mau berapa, tenornya berapa tahun, kayaknya itu sih cuma gimmick politik aja," ujarnya.
Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan menarik lainnya Wan Ulfa Nur Zuhra
(tirto.id - wan/nqm)
tirto.id - Suatu hari sebelum Pemilihan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan datang menemui Sandiaga Uno. âBro, tolong deh lo itungin, kalau misalnya kita bisa bantu melalui satu program pemerintah, untuk membantu pengadaan DP ini untuk masyarakat Jakarta,â kata Anies. Anies sedang bicara soal kredit kepemilikan rumah di Jakarta dan kemungkinan pemerintah untuk membuat program rumah tanpa uang muka.
âSerius lo?â Sandi bertanya balik. âIya, tolong hitungin.â
Sandi menilai hal itu mungkin saja terjadi. Maka jadilah program rumah tanpa uang muka (down payment/DP) sebagai salah satu janji Anies dan Sandi saat kampanye.
Sandiaga menceritakan percakapan itu ketika tim Tirto mewawancarainya secara khusus setelah Pilkada putaran pertama. Dalam wawancara itu, Sandi memaparkan beberapa rencana teknis dari program tersebut.
- Baca: Sandia ga Uno: "Anies Datang ke Saya: 'Bro, Tolong Deh Lo Itungin'"
Sandi menjelaskan, akan ada skema khusus. Orang-orang yang masuk kualifikasi untuk program itu harus menabung dulu selama 6 sampai 12 bulan untuk melihat kemampuannya membayar cicilan. âBegitu sudah melihat polanya, maka secara prudent, bank akan bilang oke dia layak,â kata Sandi.
Menurut Sandi, tabungan itu bukan untuk menyicil uang muka, melainkan hanya untuk melihat polanya. Uang muka sesungguhnya akan dibayarkan pemerintah. Tetapi dana itu juga bukan hibah, melainkan pinjaman.
Pemerintahan provinsi, kata Sandi, akan menggandeng para pengembang untuk menyediakan rumah yang terjangkau. Jadi, bukan pemerintah yang membangun rumah. Fasilitas KPR juga akan diberikan oleh perbankan, Pemprov hanya menalangi uang mukanya saja.
Saat itu, belum ada kriteria atau syarat-syarat pasti bagi masyarakat yang ingin mengikuti program itu. Belum ada kepastian untuk siapa atau warg a kelas apa program itu diselenggarakan.
Baru-baru ini, Sandi mengatakan kepada awak media bahwa program rumah tanpa uang muka hanya bisa diikuti oleh warga berpenghasilan Rp7-10 juta per bulan. Artinya, mereka yang berpenghasilan lebih kecil dari Rp7 juta atau lebih besar dari Rp10 juta tak boleh ikut.
- Baca: Akal-akalan DP Nol Persen
Mereka yang penghasilan per bulannya Rp7-10 juta tentu bukanlah kelas pekerja yang gajinya sebatas upah minimum regional (UMR). Bahkan karyawan perbankan yang fresh graduate juga masih banyak yang digaji di bawah Rp7 juta. Menurut laman Qerja.com , gaji rata-rata teller bank tak lebih dari Rp4 juta, bahkan ada yang di bawah Rp3 juta.
Jika dilihat-lihat daftar kisaran rata-rata gaji di laman tersebut, yang bisa menikmati program perumahan DP nol persen antara lain software engineer, asisten manager, engineer, supervisor di Astra Daihatsu, supervisor di Bank BCA, dan beberapa pekerjaan lain di level menengah. Sem entara mereka yang ada di level bawah tak bisa mengikuti program rumah DP 0 persen.
Dengan memberikan batasan penghasilan Rp7-10 juta, jelas sekali bahwa sasaran program rumah tanpa DP adalah kelas menengah ke atas Jakarta. Tak ada pakem tentang kriteria penghasilan dan pengeluaran bagi kelas menengah. Namun, klasifikasi yang dikeluarkan Boston Consultant Group (BCG) biasanya cukup sering dipakai.
BCG mengklasifikasikan orang dengan pengeluaran bulanan Rp5-7,5 juta sebagai kelompok masyarakat makmur atau kaya. Sedangkan yang di atas Rp7,5 juta per bulan masuk ke dalam kelompok elit. Jadi, kalau mengacu pada standar yang dipakai BCG, maka program rumah tanpa uang muka hanya menyasar lapisan masyarakat kelas menengah ke atas, kaya dan elit.
M enurut BCG pula, jumlah penduduk menengah ke atas (middle class affluent) di Jabodetabek pada tahun 2012 sekitar 18 juta dari total jumlah penduduk sekitar 31 juta jiwa. Artinya ada sekitar 58 persen penduduk kelas menengah atas di Jabodetabek. Tahun 2020 nanti, penduduk kelas menengah atas di Jabodetabek diprediksi menyentuh angka 30 juta. Tetapi itu Jabodetabek, tak ada data khusus untuk Jakarta.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2014, jumlah penduduk Jakarta sekitar 10 juta. Jika menggunakan persentase yang sama untuk Jabodetabek, bisa diasumsikan ada sekitar 5,8 juta penduduk Jakarta yang tergolong kelas menengah ke atas. Angka ini mendekati data distribusi pendapatan penduduk di Jakarta yang didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia. Data dari Pemerintahan Provinsi Jakarta itu menyebutkan, tahun 2013, ada 50,9 persen penduduk Jakarta yang masuk kategori kelompok pendapatan tinggi atau sekitar 5 juta-an jiwa. Nah, yang bisa menikmati program rumah tanpa DP adalah mer eka di antara 5 juta orang ini yang belum memiliki rumah pertama.
Lebih lanjut, Sandi menjelaskan bahwa angka Rp7-10 juta itu adalah pendapatan per rumah tangga, atau pendapatan gabungan suami dan istri bukan per orang. Kalau ada suami yang pendapatannya Rp4 juta dan istrinya Rp3 juta per bulan, mereka berhak mengikuti program tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana dengan para lajang yang memutuskan tidak menikah, atau suami yang istrinya tidak bekerja, atau istri yang suaminya tidak bekerja? Mereka tentu saja membutuhkan gaji bulanan minimal Rp7 juta jika ingin mengikuti program kepemilikan rumah DP nol persen di Jakarta.
Guster Sihombing misalnya, karyawan swasta yang berdomisili di Jakarta itu berniat ikut program kepemilikan rumah tanpa DP. Saat ini ia tinggal di kontrakan di Jakarta Pusat. Guster tak masalah tinggal di rumah vertikal asalkan tak jauh dari tempatnya bekerja. Ia salah satu warga Jakarta yang memilih untuk tidak menikah. Jadi, Guster hanya bisa menga ndalkan penghasilannya sendiri ketika ingin membeli rumah. Sayangnya, kisaran penghasilan Guster sekitar Rp5-6 juta. Dengan batasan pendapatan yang disebutkan Sandiaga, tentu saja ia tak masuk dalam kriteria.
"Kayaknya Rp7-10 juta itu ketinggian deh. Waktu kampanye dulu, aku mikirnya program itu buat yang penghasilannya sebatas UMR atau enggak jauh di atas UMR," katanya kepada Tirto, Jumat (14/7).
UMR Jakarta tahun 2016 sebesar Rp3,1 juta. Jadi, kalau ada suami istri di Jakarta yang keduanya bekerja dan gajinya mentok UMR, ingin membeli rumah dan tak punya uang muka, jangan harap bisa ikut program gubernur anyar ini.
Sementara itu, Sisi Wahyuni, warga Jakarta yang penghasilannya masuk dalam kriteria menyatakan tak berminat mengikuti program rumah tanpa DP. "Sebagai warga yang melek politik, dari awal gue udah enggak minat sama program ini. Kalau DP nol persen, cicilannya mau berapa, tenornya berapa tahun, kayaknya itu sih cuma gimmick politik aja," ujarnya.
Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan menarik lainnya Wan Ulfa Nur Zuhra
(tirto.id - wan/nqm)
Keyword
ekonomi dp nol persen rumah dp nol persen rumah tanpa dp rumah tanpa uang muka sandiaga uno anies baswedan dki jakarta jakarta mild reportREKOMENDASI
-
BTN Sebut DP Rumah 0 Persen Tak Pernah Ada di Perbankan
-
Direktur Lippo Sebut Janji Anies Soal Rumah Murah Realistis
-
Menguji Ucapan Anies Soal Harga Rumah Rp350 Juta di DKI
-
Akal-akalan DP Nol Persen
KONTEN MENARIK LAINNYA
-
Menteri Susi, Cantrang, dan Polemik Lama Soal Alat Tangkap
-
Biofuel dari Jagung, Lebih Besar Biaya dari Manfaatnya
BACA JUGA
-
Menkeu Ajukan Subsidi Energi dalam RAPBNP 2017
-
Jurus Bertahan BPR di Tengah Gempuran Fintech
Post a Comment