Header Ads

Rumah Sakit Plus

Siasat Kesultanan Siak Menandingi Belanda

Siasat Kesultanan Siak Menandingi Belanda

tirto.id - Tahun 1864, Kesultanan Siak Sri Inderapura yang berpusat di Riau punya pemimpin baru, Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin atau Sultan Said Kasim I. Namun, sang sultan harus menerima kenyataan bahwa kerajaan yang dipimpinnya tidak bisa lagi bergerak leluasa karena kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Keterjepitan itu setidaknya sudah muncul sejak era Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin atau Sultan Said Ismail (1827-1864). Pada 1 Februari 1858, ayahanda Sultan Said Kasim I ini terpaksa menandatangani Traktat Siak yang isinya sangat menguntungkan Belanda (Sapardi Djoko Damono & Marco Kusumawijaya, Siak Sri Indrapura, 2005:71).

Traktat Siak, Siasat Belanda

Traktat Siak merupakan konsekuensi keputusan Sultan Said Ismail yang meminta bantuan Belanda untuk mengusir Inggris dari wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri In derapura. Belanda menyanggupi permintaan tersebut, tapi tentunya tidak gratis. Dan ternyata, Inggris berhasil diusir.
Tibalah saatnya Belanda menagih balas jasa kepada Sultan Said Ismail. Diwakili oleh Residen Riau, J.F. Niewenhuyzen, ada dua poin besar yang dituntut Belanda dalam kontrak politik bertajuk Traktat Siak itu (Yuli S. Setyowati, Sejarah Riau, 2004: 217).
  • Baca juga: Kejayaan dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman.

Pertama, Belanda mengakui hak otonomi Siak secara terbatas, yakni hanya wilayah asli milik Kesultanan Siak Sri Inderapura (di luar daerah taklukan). Kedua, Belanda meminta 12 daerah taklukan Siak, meliputi Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Badagai, Kualiluh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang, serta Deli.
Belanda benar-benar menggunakan pengaruhnya untuk membatasi gerak Kesultanan Siak Sri Inderapura. Dengan ditandatanganinya Traktat Siak berarti kekuasaa n kolonial di Siak telah dimulai karena Kesultanan Siak Sri Indrapura dinyatakan bernaung di bawah Kerajaan Belanda (Adila Suwarno, dkk., Siak Sri Indrapura, 2007:71).
Penerus Sultan Said Ismail, yakni Sultan Said Kasim I, dihadapkan kepada situasi yang sama karena masih terikat Traktat Siak dengan Belanda. Namun, sultan muda ini punya cara jitu untuk setidaknya menunjukkan bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura masih punya cara untuk menjaga kehormatan meskipun ruang geraknya dibatasi.

Sultan Peletak Modernisasi Siak

Sultan Said Kasim I sadar betul bahwa ada risiko dan pertaruhan yang sangat besar jika ia menggerakkan Kesultanan Siak Sri Inderapura untuk melawan Belanda secara frontal. Selain kalah dari sisi yuridis lantaran masih berlakunya Traktat Siak, Belanda juga jauh lebih unggul dari segi kekuatan militer dan modal. Maka dari itu, dicarilah siasat lain agar marwah Kesultanan Siak Sri Inderapura tidak semakin melemah.
Kerap berinteraksi dengan orang-orang Belanda justru menghasilkan berkah tersendiri bagi Sultan Said Kasim I. Ia menyadari bahwa Belanda bisa menjadi kuat lantaran punya visi yang jelas dan mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman.
  • Baca juga: Saat Belanda Membatalkan Sepihak Perjanjian Linggarjati.

Ketimbang memikirkan strategi berperang melawan Belanda, Sultan Said Kasim I lebih fokus untuk menuntun Kesultanan Siak menuju era modern. Pembangunan digalakkan dalam berbagai sektor kehidupan, dari pemerintahan, ekonomi, pendidikan, seni dan budaya, hingga pembangunan secara fisik.
Salah satu bangunan megah yang berdiri pada era pemerintahan Sultan Said Kasim I adalah Masjid Raya Syahabuddin (Abdul Baqir Zein, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, 1999:80). Masjid ini menjadi salah satu simbol kemajuan Kesultanan Siak Sri Inderapura di tengah pengawasan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Madrasah Pesaing Sekolah Belanda

Pondasi kehidupan modern yang ditanamkan oleh Sultan Said Kasim I kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan Siak Sri Inderapura setelahnya, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau Sultan Said Kasim II (1908-1946) yang tidak lain adalah cucu Sultan Said Kasim I.
Selain pembangunan fisik, kualitas sumber daya manusia tentunya juga sangat penting. Dan itu amat disadari oleh Sultan Said Kasim II yang berpandangan bahwa orang Belanda mampu melangkah lebih jauh salah satunya karena faktor kecerdasan, dan itu bisa diperoleh melalui pendidikan yang baik.
Sultan Said Kasim II tentu saja ingin masyarakat Siak nantinya juga memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Langkah awal yang dilakukannya adalah dengan mendirikan sekolah dasar untuk menandingi Belanda yang sudah sejak jauh-jauh hari mempunyai Hollandsche Inlandsche School (HIS).
  • Baca juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara.
< br />Sultan Said Kasim II punya alasan kuat sebelum mendirikan sekolah sendiri. Ia kecewa dengan kebijakan Belanda mengenai HIS. Tidak sembarang kalangan bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. Selain anak-anak Eropa dan peranakan Tionghoa, hanya anak bangsawan, orang kaya, atau terkemuka dari golongan pribumi saja yang boleh masuk. Ini membuat tidak banyak putra Siak yang berkesempatan memperoleh pendidikan terbaik.
Selain itu, kurikulum HIS juga tidak sesuai dengan dua unsur utama yang sangat dipegang teguh oleh sultan, yaitu agama (Islam) dan nasionalisme. Maka dari itu, sultan memprakarsai berdirinya Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah (Suwardi Mohammad Samin, Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau, 2002:66).
Sekolah dasar ala Kesultanan Siak Sri Inderapura yang didirikan pada 1917 itu diperuntukkan bagi anak laki-laki dengan masa pendidikan selama 7 tahun. Selain untuk memperdalam ajaran Islam, Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah juga mengajark an ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Siasat Kesultanan Siak Menandingi Belanda

Para Permaisuri pun Beraksi

Jika Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah adalah sekolah untuk anak-anak laki-laki, ada pula sekolah untuk anak perempuan. Sebagai pelopornya adalah permaisuri Sultan Said Kasim II yakni Tengku Agong (Tengku Agung) atau yang bergelar Syarifah Latifah. Sekolah ini kemudian dinamakan Latifah School.
Syarifah Latifah tergerak mendirikan sekolah bukan hanya lantaran ia adalah permaisuri Sultan Said Kasim II. Ia sendiri yang punya gagasan tersebut setelah mendampingi sultan mengunjungi daerah di luar Siak, seperti saat menghadap Residen Sumatera Timur di Medan, juga ke Langkat atau Tanjungpura (Ahmad Yusuf, Sultan Syarif Kasim II: Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura, 1992: 169).
Sang permaisuri melihat masyarakat di dua kota tersebut sudah lebih modern ketimbang Siak, termasuk dalam hal emansipasi wanita. Tidak sedikit perempuan pribumi yang menjalani profesi selayaknya kaum pria, juga memakai pakaian ala Barat. Hal seperti itu masih sangat sulit diterima oleh masyarakat Siak.
Sepulang dari kunjungan tersebut, Syarifah Latifah berinisiatif menggagas sekolah untuk perempuan pertama di Siak, bahkan di Riau. Berdirilah sekolah kepandaian putri Latifah School, antara tahun 1926 atau 1928 (Wilaela, Sultanah Latifah School di Kerajaan Siak, 2014:130). Sayang, Syarifah Latifah tidak lama mengurusi sekolah yang digagasnya itu. Belum genap setahun Latifah School berdiri, sang permaisuri meninggal dunia.
  • Baca juga: Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah.

Perjuangan belum usai. Permaisuri kedua Sultan Said Kasim II, yakni Tengku Maharatu, melanjutkan kiprah Syarifah Latifah dengan mengurus i Latifah School. Bukan hanya itu, ia juga berinisiatif membangun asrama putri bernama Istana Limas untuk menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School.
Tengku Maharatu kemudian menggagas pula didirikannya sekolah untuk perempuan yang tidak hanya mempelajari seputar keterampilan seperti yang diajarkan di Latifah School saja, melainkan sekolah yang juga mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Maka, berdirilah Madrasyahtul Nisak, sekolah khusus untuk perempuan yang setara dengan sekolah dasar macam HIS atau Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah yang untuk laki-laki. Selain itu, Tengku Maharatu juga menggagas sekolah taman kanak-kanak (Adila Suwarno, dkk., 2005:73).
Siasat cerdas melalui jalan pendidikan yang dilakukan keluarga Kesultanan Siak Sri Inderapura itu terbukti ampuh dan bertahan lama. Sultan Said Kasim II pun sanggup mempertahankan statusnya sebagai Sultan Siak bahkan hingga Indonesia merdeka pada 1945.
Jauh sebelum meninggal dunia pada 196 8, Sultan Said Kasim II telah menyerahkan wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada pemerintah Republik Indonesia. Wilayah Siak Sri Inderapura pun meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kini termasuk wilayah administratif Provinsi Riau.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/zen)

Keyword

sejarah indonesia kesultanan siak kesultanan siak sri inderapura sejarah kerajaan pendidikan sultan siak mild report

REKOMENDASI

  • Bubarnya Angkatan Perang Hindia Belanda: KNIL

    Bubarnya Angkatan Perang Hindia Belanda: KNIL

  • Agoes Moesin Dasaad, Dompet Berjalan Bung Karno

    Agoes Moesin Dasaad, Dompet Berjalan Bung Karno

  • Misionaris Kristen Dibunuh di Tana Toraja

    Misionaris Kristen Dibunuh di Tana Toraja

  • Tielman Brothers, Anak Band Belanda Keturunan Indonesia

    Tielman Brothers, Anak Band Belanda Keturunan Indonesia

KONTEN MENARIK LAINNYA

  • Strategi Memaksimalkan LinkedIn untuk Kemajuan Karier

    Strategi Memaksimalkan LinkedIn untuk Kemajuan Karier

  • Pola Asuh Orangtua Penentu Anak Jadi Pelaku Bullying

    Pola Asuh Orangtua Penentu Anak Jadi Pelaku Bullying

BACA JUGA

  • Menteri Yohana Larang Sekolah Keluarkan Siswa Bermasalah

    Menteri Yohana Larang Sekolah Keluarkan Siswa Bermasalah

  • Menhan Pastikan Ospek akan Diisi dengan Materi Bela Negara

    Menhan Pastikan Ospek akan Diisi dengan Materi Bela Negara

Sumber: Tirto